Minggu, 07 November 2010

replay #1

Waktu menunjukkan pukul 20.00. Seharusnya, malam ini menjadi malam yang membahagiakan bagiku. Karena, hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 40, 1 Mei 2030. Karena malam ini, adalah malam romantis yang hanya aku dan istriku tercinta miliki.

Namun kenapa begini?? Dadaku terasa berat. Sakit, teramat sakit. Serasa jantungku diremas dari dalam tubuhku. Mungkin, aku mengalami apa yang seorang dokter jantung, profesiku ini, sebut sebagai serangan jantung. Dan pada malam itu, yang kuingat hanyalah wajah istriku tercinta, Bilqis, yang dipenuhi oleh kecemasan dan air mata. Ingin sekali kuucapkan padanya bahwa aku sangat mencintainya sambil memoles air mata yang mengalir di pipinya. Namun, apa daya, tenagaku tak kuat untuk melakukan itu. Dan akhirnya, aku meninggal saat itu, meninggal di atas pangkuan sang istri tercinta. Bagai Rasulullah yang meninggal di pangkuan istrinya tercinta, Aisyah.

Ya, aku meninggal. Detak jantungku berhenti. Nafas pun tak kulakukan.

Namun mengapa aku ‘sadar’ tentang hal itu?? Mengapa aku sadar bahwa aku sudah tidak bernafas??

Aku terbangun di sebuah ruang yang gelap. Secara spontan, diriku mencari saklar untuk menyalakan lampu. Entah apakah aku bermimpi, aku merasa sangat kenal dengan kamar ini. Ya, ini adalah kamar kosanku, saat aku masih kuliah kedokteran sekitar 20 tahun silam. Buku-buku teks kedokteran bertebaran di lantai kamarku. Ya, kamar berantakan ini betul-betul menggambarkan kamar kosanku.

‘Sungguh, ini tidak lucu’, pikirku. Siapa yang berani mempermainkan aku sejauh ini?? Jelas ini bukan sebuah lelucon yang lucu. Di balik kebingunganku, aku berjalan menuju toilet, dan betapa terkejutnya aku begitu melewati sebuah cermin di depan toilet.

‘Apakah ini mimpi??’

Aku, ya itu aku. Ah, apa yang aneh dengan itu. Jelas dirikulah yang tampil di dalam cermin itu. Namun, anehnya. Wajah ini adalah wajahku saat aku berusia 20 tahun. Saat aku masih menjadi fase mahasiswa.

‘Ya Allah, apa yang terjadi padaku??’

Ketakutan menyelimuti tubuhku. Kuoanjatkan tahajud pada-Nya. Sungguh, mala mini menjadi malam yang menyeramkan bagiku.

‘Apakah…… Aku hidup kembali??’

**

Subuh pun tiba. Kondisiku masih seperti semalam. Ketakutan meliputi tubuhku. Tiba-tiba ada ketukan yang mengagetkan diriku. Ketukan itu, 20 tahun lalu, selalu ada setiap pagi, untuk selalu mengajak shalat subuh berjama’ah. Ya, Dino-lah yang biasa melakukan itu tiap subuh. Maka, kubuka pintu kamarku. Memang, cukup kaget tapi kangen juga melihat muka Dino yang berusia 20 tahun itu, serasa reuni yang sangat panjang. Dialah salah satu teman akrabku.

‘Ayo bos, yuk subuh’, ajaknya.

‘Eh, siap Din. Gua ambil wudhu dulu ya’.

‘oke, gua tungu depan yak. Eh lo sakit, Mas?’. Mungkin ia heran dengan mukaku yang masih mengalami shock ini.

‘gak papa Din. Gua gak papa kok. Nuhun y bos’.

‘If you have any problem, langsung aja ngomong ke gua yak. Yuk, subuh, seenggaknya bisa ngurangin keriput di muka lo. Haha’.

**

Ya, ini bukan mimpi. Pagi pun dengan semangat yang seadanya aku segera bersiap untuk berangkat menuju kampus. Kembali mempelajari sesuatu yang, sepertinya, telah kukuasai di kehidupan sebelumnya. Hari ini menunjukkan tanggal 29 November 2010. Kusiapkan dompet dan ternyata memang ada sebuah KTM bernama Dimas Irmansyah, namaku, yang masih tercatat sebagaii mahasiswa FK X.

Di dunia ini, aku merasa sendirian, meskipun aku sangat mengenal orang-orang sekitarku. Aku kangen pada Bilqis, istriku. Yang selalu menjadi penyejuk saat hatiku mongering. Yang selalu menghangatkanku bak matahari saat jiwaku dingin. Yang terdapat sejuta pesona sedalam palung. Yang senantiasa memberikan sinar indah bak bintang pada batinku. Sungguh, aku sangat ingin bersamanya sekarang. Aku cinta padamu, Bilqis. Namun apadaya, bintangku telah jatuh entah kemana.

Aku telah sampai di kampusku. Ya, di sinilah tempatku memulai kehidupanku yang, nantinya, sebagai seorang dokter. Semangat pun masih tidak terkumpul. Dengan langkah gontai, aku pun menuju ke ruang tutorial, karena memang sekaranglah saatnya tutorial. Entahlah hari ini pelajaran tentang apa, sistem organ apa yang saat ini sedang kubahas, aku tidak ingat tentang itu. Dan aku pun tak mau tahu tentang itu.

Aku tetap berada dalam kesendirianku walaupun teman-teman tutorku telah berdatangan. Aku tak ingat siapa saja orang-orang di kelompok ini. Namun aku masih ingat beberapa orang yang menyapaku, Cakra, Desi, dan kebetulan Dino juga sekelompok denganku. Namun tetap, aku tenggelam dalam duniaku sendiri. Masih terheran-heran akan apa yang telah kualami.

‘Bukankah aku telah mati?’

Kemudian, sesaat sebelum dimulai aktivitas tutorial hari ini, aku sedikit dikagetkan oleh ketokan pintu. Ya, ada satu orang yang terlambat 5 menit. Cukup kaget aku melihat sosok di balik pintu itu.

Seorang wanita, yang menggunakan kain kudung hitam sampai dadanya,rok lebar, membawa tas ransel di pundaknya. Dan bisakah kau tebak siapa dia??

Ya, dia Bilqis. Istriku di kehidupan sebelumnya, istriku ‘kemarin’, atau bolehlah disebut istriku di ‘masa depan’. Istri yang sangat kucinta, kini berada di hadapanku. Dengan wujud berusia 20 tahun. Sang bintang hidupku.

‘Bil…. Bilqis??’, ucapku.

Secara spontan aku pun mendekap dia erat-erat.

‘Sayangku, sungguh aku sangat kangen padamu. Aku kesepian di sini. Sungguh, sungguh aku butuh….’

PLAAAAKKKK

Tamparan keras mendarat pada pipiku. Tamparan yang kudapatkan dari istriku, yang sebelumnya tak pernah ia lakukan ini padaku.

‘KAMU APA-APAAN, DIMAAAS??’. Teriaknya sembari marah padaku. Dan pipinya pun berlumuran air mata.

‘AKU BENCI KAMUU’. Kata sang bintangku sembari keluar dari ruang tutor.

Ya, ‘saat ini’ aku memang bukan siapa-siapa baginya. Aku hanyalah suaminya ‘kemarin’. Dan aku adalah pria beruntung yang ‘kemarin’ mendapat wanita seperti Bilqis, wanita yang tidak hanya supel dalam bergaul, namun pintar menjaga kehormatannya dalam bergaul. Wanita yang tidak berani dalam berpakaian, namun berani dalam mempertahankan kehormatannya. Wanita yang tidak hanya indah paras wajahnya, namun juga indah hatinya. Ya, itulah Bilqis. Wanita yang kuberikan komitmenku.

Sungguh, aku tidak sadar sama sekali bahwa ‘sekarang’ ia bukanlah istriku. Jujur, hanya rasa kangen yang amat sangat yang mendorongku untuk mendekapnya.

Semenjak kejadian itu, orang-orang di sekitarku tidak berani untuk mendekatiku. Julukan ‘maniak seks’ pun telah tercap di dalam diriku. Aah, aku tidak peduli akan pencitraan orang lain pada diriku.

Namun, Bilqis pun menganggapku demikian. Dia tidak mau menatap mukaku. Lari mencari jalan lain bila ia melihatku di seberang jalan. Kurasa, tindakannya wajar. Karena ialah korban dari tindakanku. Dan semenjak hari itu, mungkin sejarah telah berubah. Mungkin dia bukan lagi istriku di ‘masa depan’. Dan karena itu, aku telah kehilangan bintangku. Sepertinya, matahariku takkan kembali untuk kedua kalinya padaku.

‘Ya Allah, kenapa aku dibiarkan hidup lagi??’

To be continue


terinspirasi novel Replay

karangan Ken Grimwood

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ikhsanun Kamil Pratama © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates