Minggu, 17 April 2011

visi hidupku

0komentar
Entah harus sedih atau senang, kedua perasaan ini bercampur aduk menjadi satu bentuk. Semua ini karena satu hal, yaitu karena akhirnya kutemukan visi hidupku.

Sedih, tentu saja. Karena seolah 20 tahun kehidupanku sebelumnya serasa bagaikan mayat hidup, berjalan tanpa arah. Walau bukan berarti hidupku hanya berjalan mengikuti arus sungai. Namun, grand design kehidupanku yang belum tersusun selama 20 tahun. Ah, andaikan bisa kembali ke masa lalu.

Senang, karena alhamdulillah. Akhirnya, kudapatkan pula visi hidupku, sebuah blue print kehidupan yang akan menjadi arahan kemana kaki kan melangkah. 20 tahun ini bukan waktu yang sia-sia, namun saya percaya bahwa ternyata grand design yang kususun memerlukan waktu 20 tahun, berarti grand design yang kubuat ini merupakan grand design yang terbaik untukku.

Semula, diriku cukup 'tenang' dengan konsep visi 'menjadi hamba Allah'. Namun entah kenapa, dalam perjalanan, hal ini sangat umum. Dalam perjalanannya, sering ku ragu dan bimbang, what must i do next. Pertanyaan itu selalu terngiang dalam benak sehingga tak jarang segala macam kegiatan pun kulakukan, dengan melupakan bermacam hal yang seharusnya menjadi prioritas. Satu masalah utamanya adalah --> Tidak spesifik

Bisa dianalogikan dengan sebuah organisasi, terutama saat pemilihan ketua senat/bem. Dengan gencarnya, para calon pemimpin mendeskripsikan visi misinya setahun ke depan. kalau organisasi yang hanya setahun ke depan saja, para calon pemimpin merancang visi yang melangit, kenapa tidak dengan hidup kita, yang sejauh ini sudah kita rasakan lebih dari satu tahun.

Alhamdulillah, sujud terakhirku di shalat Ashar hari ini membuahkan hasil yang luar biasa, yaitu sebuah visi hidup, yang insya Allah pada 'sidang akhir hidup' harus saya pertanggungjawabkan.

Dengan mengucapkan Basmallah,
saya, Ikhsanun Kamil Pratama, me-launching visi hidup saya :

Menjadi pribadi yang berkonsentrasi tertinggi dalam hidup serta senantiasa berdifusi, dari lingkungan terkecil sampai lingkungan terbesar


Jumat, 15 April 2011

Taman Bunga Anemone

0komentar

Bayangkanlah saat ini anda berada di sebuah desa yang sangat nyaman, sangat makmur, dan sangat tentram. Desa ini begitu indah karena ia diselimuti oleh sebuah selendang fauna yang sangat luar biasa indah, disertai dengan iringan aroma yang khas dari kebun bunga yang tumbuh disana. Bahkan, anda pun merasa sangat nyaman berada di dalamnya.

Desa ini ternyata sangat terkenal oleh bunga anemonnya. Bunga anemone di desa ini bisa dibilang bunga yang keindahannya world-class. Tiada yang menyaingi anemone dari desa ini. Bahkan bisa dibilang, di sinilah satu-satunya sumber anemone terbaik sedunia. Kuncupnya yang indah, aromanya yang semerbak, serta warnanya yang memanjakan hati merupakan keunggulan utama dari anemone di desa ini. Maka jangan heran kalau profesi bertanam bunga anemone menjadi primadona di desa ini.

Pak Amin adalah seorang petani anemone yang sangat sukses, karena memang tak diragukan lagi, di antara tumpukan emas itulah ia paling berkilau. Di antara anemone terindah di dunia itu, taman pak Amin yang paling indah dan menawan bunganya di antara petani anemone lainnya. Entahlah, seakan ia memiliki bibit anemone super, tiap kali ia menanam anemone baru, hasilnya selalu luar biasa indah. Tak jarang, hal ini cukup membuat rekan seprofesinya iri hati.

Salah satunya adalah Pak Budi. Memang tak bisa dipungkiri bahwa dalam hatinya terbesit sedikit rasa iri. Namun, ia dengan memberanikan diri melakukan satu hal yang belum pernah orang lain lakukan, yaitu MEMINTA bibitnya langsung ke pak Amin. Apa yang akan anda lakukan kalau anda adalah pak Amin?

Aneh bin ajaibnya, pak Amin memberikan sekarung kecil bibit bunga anemone miliknya dengan tulus ikhlas secara cuma-cuma. Tentu saja, pak Budi kegirangan setengah mati, walaupun ekspresinya bisa ia tahan. Lantas Amir, anak pak Amin, cukup terheran akan perilaku bapaknya. Mengapa semudah itu bapaknya memberikan bibit anemone kualitas tinggi?

Semenjak kejadian itu, pak Budi jadi memiliki banyak pengikut, dalam artian hampir semua tetangganya pun mulai meminta bibitnya kepada pak Amin. Mereka pun tentu tidak ingin kalah bersaing, mereka ingin pula tamannya dihiasi oleh bunga anemone yang tak kalah saing. Lantas, apa yang akan anda lakukan apabila anda adalah pak Amin?

Saking dermawannya pak Amin, satu persatu tetangga yang meminta ia berikan bibitnya. Kejadian ini jelas menimbulkan pertanyaan besar bagi Amir. Lantas, ia bertanya kepada bapaknya.

‘Pak, apa yang bapak lakukan? Bukankah kalau Bapak memberikan bibitnya, maka taman Bapak yang semula ‘luar biasa’ menjadi ‘biasa-biasa’ saja?’ tanya Amir.

‘Anakku, justru dengan membagikan keluarbiasaan kita pada orang lain, kita kan menjadi jauh lebih luar biasa’, jawab pak Amin sembari tersenyum.

‘Jawaban yang terlalu klise, Pak’

‘Kalau engkau menjadi Bapak, apa yang akan engkau lakukan, anakku?’

‘Tentu saja aku akan menyimpannya, dan menggunakannya sendiri untuk keperluanku’

‘Anakku, bagaimana sekiranya bunga anemone ini melahirkan keturunannya?’

‘Tentu saja dengan proses penyerbukan. Lantas kenapa Pak? Jangan mengalihkan pembicaraan, Pak!’ sungut Amir sembari cemberut.

‘Justru di situlah poinnya. Bunga anemone akan menyebarkan serbuk sari dan serbuk sari akan terbawa oleh angin. Sekarang bayangkan nak, apabila bunga anemone di sekitar kita tidak berkualitas baik, lantas apa yang terjadi?’ jawab pak Amin dengan bijak sambil tersenyum dan mengusap-ngusap kepala anaknya. ‘Bukankah itu berarti serbuk sari dari bunga yang kualitasnya kurang baik akan jatuh ke kepala putik dari bunga anemone kita? Lantas, kualitas keturunannya pun akan memburuk. Sangat jauh berbeda apabila….’

‘Aku mengerti, pak’ potong Amir. ‘Apabila bunga sekitar kita berkualitas sangat baik pula, tentunya akan meningkatkan kualitas keturunan dari bunga anemone yang kita miliki. Karena serbuk sari berkualitas baik akan bertemu dengan putik yang berkualitas baik, tentulah hasilnya akan menjadi jauh lebih baik’.

‘Betul nak. Pada umumnya kita sulit untuk berbagi. Namun percayalah, kita akan senantiasa kuat dengan menguatkan sekitar kita. Kita kan senantiasa maju dengan memajukan sekitar kita. Maka berbagilah selalu, nak’

Si anak pun tersenyum, sungguh bersyukur ia mendapatkan sebuah pembelajaran kehidupan yang luar biasa dari seorang ayah yang luar biasa. Ia pun mendekapkan ayahnya seerat-eratnya. Tanda bahwea sang ayah pun sukses menyebarkan serbuk sayang padanya.

Selasa, 12 April 2011

Menjemputmu Dengan Takut dan Harap

0komentar

Bismillah

Assalamu’alaikum wr wb.

Wahai calon istriku, entah mengapa aku berubah menjadi melankolis. Kuingin engkau tahu bahwa sejuta daya ledak motivasi mengalir dalam darahku untuk menjemputmu. Sejuta buai cinta mengalir dalam syarafku. Sejuta cita dan asa untuk datang ke depanmu. Sejuta, ah sudahlah, memang aku tak pandai beretorika.

Namun, sejuta tak lagi menjadi sejuta. Cita pun bernoda lara. Gembira terkosongi sebagian hampa. Karena satu rasa dalam dada, yaitu takut.

Ah, tolong jangan memalingkan muka terlebih dahulu. Dengarkanlah dulu diriku, simaklah surat ini meski pilu mewarnai hati. Satu harapku :bacalah ini sampai akhir. Bukankah, takut merupakan hal yang manusiawi?

Kuakui, sejuta motivasiku untuk menjemputmu tak beriring dengan pikir jernih. Aku cukup tertampar dengan cerita Baginda Rasulullah SAW. Engkau pernah mendengar nama Hafsah? Ya, beliau adalah salah satu istri Rasul dulu, sekaligus anak dari Umar bin Khattab, sahabat dekat Rasul. Dari sekian jumlah istri Rasul, Hafsah adalah satu-satunya istri Rasul yang pernah diceraikan karena terjadi sedikit kesalahpahaman dengan Mariyah al-Qibthiyah, salah satu istri Rasul. Bila engkau berada di posisi Hafsah, bagaimana perasaanmu diceraikan suamimu?

Memang, meskipun pada akhirnya Hafsah dirujuk kembali, namun perceraian terjadi di rumah tangga Rasulullah. Ah, siapalah aku? Tiada banding diriku dengan Rasulullah. Kemungkinan cerai pun akan jauh lebih besar. Ini adalah problema yang perlu kita hindari bersama. Bukan hanya sekedar ‘engkau jodohku, milikku selamanya, dan kita kan mengabadi’. Ini adalah perjuangan yang harus kita jalani bersama. Inilah ketakutan pertamaku.

Hei, apa engkau tahu? Otak pria sangat tajam dalam masalah visuospasial. Tubuh wanita merupakan makanan yang nikmat bagi mata pria, mataku. Mungkin engkau bertanya-tanya tentang hal ini, bahwa perihal seks pun menjadi halal.

Ah tolong maafkan aku. Aku cukup terhentak dengan berita-berita koran dan infotainment. Banyak sekali berita tentang kawin kontrak. Banyak sekali para tokoh layar kaca yang berucap ‘kalo mo ‘gigituan’ kan halal, wong udah nikah’ begitu entengnya. Engkau menangkap ketakutan keduaku?

‘Zina dalam pernikahan’. Ya, zina bertopeng nikah. Mungkin term inilah yang paling cocok menggambarkan hal ini. Bahkan, bukankah dalam Al-Quran pun memberikan himbauan untuk tidak melakukan ini, bukan? Lantas, siapa diriku? Aku hanyalah seorang pria. Sungguh, ketakutan yang amat sangat bagiku bila kelak memandangmu hanya ‘seonggok tubuh’ saja. Tak memandang dirimu secara keseluruhan. Hanya mencintai tubuhmu, bukan dirimu. Meskipun hanya sesaat. Sungguh, aku takut.

Hei, aku pun tertegun dengan sebuah cerita. Ini pun berkisah tentang sang manusia agung, Rasulullah. Betapa dia memiliki sifat entrepreneurship yang luar biasa dahsyat, kekayaannya sebetulnya sangat melimpah ruah. Namun, kekayaannya itu ia tutupi oleh baju kesederhanaan. Kekayaannya pun berdifusi, senantiasa mengalir kepada sekitarnya yang membutuhkan.

Ah, lihatlah diriku. Yang telah berumur kepala dua tetap belum mandiri. Yang baru saja menyadari pentingnya entrepreneurship. Saat ini aku hanyalah sosok yang sok kaya, namun sebetulnya miskin. Sungguh bagaikan sisi uang logam aku dengan Rasul. Kalaulah Rasul menutupi kekayaan dengan kesederhanaan, sehelai baju terindah sepanjang masa. Maka, aku menutupi kemiskinanku dengan selendang kesombongan, selendang kekayaan. Parahnya, selendang ini pun bukanlah hasil tetes keringatku, namun orangtuaku.

Dan hal yang menjadi tantangan utama adalah saat aku berusaha untuk mengikuti apa yang diperbuat oleh sang suri tauladan kita, Rasulullah, dengan istri tercintanya, Khadijah. Engkau boleh tidak setuju, namun menurutku, kisah cinta mereka merupakan kisah teromantis sepanjang masa. Bagaimana tidak, bahkan cinta mereka pun mampu kita rasakan sampai sekarang.

Apa buktinya? Tidak perlu jauh-jauh, apa yang kita rasakan tiap hari, apa yang selalu kita syukuri, itu adalah buah dari bibit cinta mereka. Itu adalah Islam. Islam yang selalu kita nikmati sampai detik ini, ternyata terlahir dari kamar sepasang kekasih.

Bayangkanlah, apa kiranya yang terjadi pada saat itu, saat dimana Rasulullah mendapatkan wahyu pertamanya, kemudian tiada Khadijah di sampingnya? Mungkin, Islam takkan tersebarkan seperti ini. Mengingat, kondisi Rasul saat penerimaan wahyu pertamanya pun betul-betul mengguncang kondisi mentalnya. Karena ada sosok istri tercinta yang senantiasa mengirimkan cinta tulus padanyalah, Rasul mampu bangkit dari kondisi yang mengguncangkan jiwa ini, saking besarnya amanah baru yang ditanggungnya. Tak semudah pengakuan orang-orang sekarang bahwa dirinya adalah nabi.

Lihatlah kejadian ini. Ternyata, cinta sang teladan kita pun bukan hanya ‘cinta aku kamu’. Bukanlah cinta yang hanya menonjolkan diriku dan dirimu, dan meniadakan makhluk lain, yang menjadikan dunia hanya milik berdua. Namun lihatlah, bahwa cintanya merupakan sebuah cinta yang rahmatan lil ‘aalaamiin, cinta yang cintanya menyebar ke seantero jagat raya.

Engkau boleh tak setuju, namun jujur, perihal inilah yang perlu kurenungkan. Bahwa, apa yang akan kita tempuh bukan semudah air yang mengalir dari hulu ke hilir. Dan kesimpulan yang mengguncang hatiku adalah bahwa seseorang tak pantas disebut kekasih apabila tidak mendekatkan diri kita sendiri kepada Allah. Ketakutan pun menjelmaku, bahwa aku belum tentu layak disebut kekasih. Namun, aku takkan berpangku tangan saja. Aku pun kan senantiasa menjelma menjadi seorang kekasih. Meskipun bagiku, cinta itu sendiri tak terjamah definisi.

Nah, siapkah engkau menjadi seorang kekasih? Karena aku pun akan senantiasa menjemputmu dengan takut dan harapku

 

Ikhsanun Kamil Pratama © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates