Sabtu, 18 Desember 2010

Replay #2

0komentar

Api yang membara menghasilkan abu yang lemah dan dingin

Itulah keberadaan seorang manusia. Meskipun bersemangat tinggi, meskipun berkekuatan bagai Hercules, wujud aslinya hanyalah sesuatu yang lemah dan dingin. Karena itulah, keberadaan orang sekitar sangat dibutuhkan seorang manusia agar api semangat tak terpadamkan. Meskipun ada saja orang yang senang menyendiri, namun ia pasti takluk melawan kesendirian.

Begitu pula denganku. Kehilangan sang matahari, Bilqis, bagiku merupakan pukulan sangat telak bagiku. Meskipun secara teoritis, karena aku seorang muslim, aku sangat sadar bahwa Allah selalu meliputi diriku, bahwa Allah sangat dekat denganku, dan tak ada yang perlu ditakutkan apabila ‘backingan’ku adalah Allah. Bara apiku pasti tertahan dan takkan menciptakan abu karena ada-Nya. Namun sulit bagiku untuk mengaplikasikannya. Ah, ternyata selama ini aku hanya berteori!! Apa yang kukisahkan kepada orang-orang sekitarku tentang ‘merasakan Allah’ hanya bualan semata.Tidak seperti junjunganku, Rasulullah SAW, yang mengisahkan kebaikan melalui perbuatannya. Ini adalah buktinya. Aku merasa sangat jauh dengan-Nya, bahkan tidak merasakan keberadaan-Nya.

‘Kenapa aku terlahir kembali?? Ya Allah, aku sangat berharap bahwa ini hanyalah MIMPI’

Sungguh aneh memang. Di saat banyak orang yang takut akan kematian, justru aku sangat mengharapkan kematian. Kehidupan ini laksana neraka bagiku.

Terngiang ucapan terakhir Bilqis padaku tempo hari, ‘AKU BENCI KAMU, DIMAS!!’. Membuatku menjadi abu yang lebih dingin dari semula. Sangat kacau pikiranku malam ini. Entah kenapa kejadian tempo hari semakin membuatku rindu akan sesuatu yang bernama kematian. Rindu ini telah menjalar ke seluruh tubuhku, telah mengalir dalam pembuluh darahku, telah mengalir dalam seluruh pembuluh syarafku, sehingga seluruh tubuhku pun serasa telah kompak hanya ingin merasakan satu, yaitu KEMATIAN.

Tanpa pikir panjang, kucari gunting dalam rak bukuku. Dan tangan kananku telah menggenggam gunting, dan kutusukkan gunting itu kepada bagian dadaku, tepat menikam jantungku, dan kutahan teriakku.

Aku bisa merasakan jantungku yang denyutnya semakin pelan saja. Segarnya oksigen pun tak kurasakan lagi. Sakit yang amat sangat terasa di seluruh tubuhku. Tak ingin lagi aku mengalami rasa ini untuk ketiga kalinya. Mungkin aku telah mati. Namun, apa batas ‘hidup’ dan ‘mati’? Sampai akhir hidup pun tak kutahu apa definisinya, meskipun aku telah bertahun-tahun mendalami ilmu kedokteran. ‘Aah sudahlah, aku sudah mati’, pikirku.

Mengapa?? Mengapa pada kematianku aku masih bisa secara sadar memikirkan definisi ‘hidup’ dan ‘mati’??

Kembali, aku terbangun di tempat yang gelap. Secara spontan, aku menyalakan lampu tempat gelap ini. Betapa kagetnya aku. Ternyata aku kembali pada kehidupanku tepat kemarin. Kondisi kamar kosku sangat mirip dengan kemarin, saat aku menjalani hidup yang kedua. Aku semakin terpuruk dalam ketakutanku…

Seperti kejadian ‘kemarin’, Dino pun mengetuk kamarku untuk membangunkanku untuk shalat subuh berjamaah. Namun, saking takutnya, aku tidak merespon panggilannya. Mungkin, aku telah mengalami sakit jiwa. Ah apa itu jiwa? Hal ini pun tak terdefinisikan dengan jelas pada disipilin ilmu yang kudalami. Yang jelas, sepertinya aku sakit. Sakit yang tak terdefinisikan.

**

Teman-teman sekosanku dan teman-teman kampusku mungkin sangat heran melihat Dimas yang seperti ini. Dimas yang mereka kenal adalah seorang muslim yang, di pandangan mereka, tangguh. Penebar keceriaan, penular semangat, dan pemimpin yang luar biasa. Itulah aku, Dimas. Tapi, itu adalah Dimas 20 tahun lalu.

Aneh mungkin memang, entah kekuatan apa dan darimana yang dapat membuatku bergerak menuju kampus. Walaupun, di kampus aku bagaikan zombie. Dengan tertunduk lesu, aku pun menuju ruang tutor. Kejadian ‘kemarin’ pun terulang hari ini. Sosok bintangku, muncul kembali di hadapanku. Namun kali ini, saking lemasnya, aku tak mendekapnya seperti yang kulakukan padanya kemarin.

‘Mas, kamu gak enak badan? Ke klinik dulu atuh.’

Suara merdu itu memanggilku. Suara yang penuh kecemasan itu menyappaku. Ya, itu suara Bilqis. Kulihat air mukanya pun ternyata memancar kekhawatiran yang luar biasa. Itu sedikit menjadi obat bagiku.

‘Gak apa-apa kok’, balasku sembari tersenyum padanya.

Aku tahu, dari kesaksian Bilqis sendiri padaku saat 20 tahun lalu ia masih menjadi istriku, bahwa ia ‘saat ini’ memendam rasa cinta padaku, begitu pula denganku. Namun kami memendam rasa ini seperti Ali dan Fatimah.

Namun, aku memutuskan tak ingin miliki rasa bahagia yang setinggi langit bersamanya, karena aku tak siap untuk jatuh kedua kalinya dari tempat setinggi itu.

Aku cukup senang pada hari ini karena Allah sedikit menitipkan obat penyakitku melalui Bilqis. Mentalku sedikit demi sedikit kembali terbangun, api semangatku kembali membara, siap untuk menggerakkan lokomotif baja sekalipun barang ini lebih berat dari api sekali pun. Walau cukup sedih bagiku bahwa aku melepas kesempatanku untuk bersama Bilqis.

Pada kehidupan ini, aku hanya ingin menyibukkan diriku pada berbagai macam kegiatan sosial. Sebuah suntikan semangat untuk selalu bermanfaat bagi sekitar.

Bilqis, inilah jalanku!!

**

Malam hari, aku betul-betul tak bisa tidur. Menyadari kebodohanku sebodoh-bodohnya, mengapa aku bunuh diri ‘kemarin’?? Parah!! Aku telah menjadi makhluk yang lebih rendah daripada hewan!! Setahuku, tidak ada di dunia ini yang bunuh diri, kecuali hewan, atau bahkan lebih rendah daripada itu, yang bernama Dimas!!

Ya, aku sungguh-sungguh bertaubat. Taubatan Nasuha. Takkan kuulangi lagi kejadian ‘kemarin’. Bilamana yang menimpaku ini adalah ujian, maka aku akan menjalani ujian ini semampuku. Kehidupan ini merupakan ajangku untuk bersyukur

Simaklah jalan hidupku…!!

Bagaimana engkau memaknai hidupmu??

To be continue…


Terinspirasi novel 'Replay'

karangan Ken Grimwood

 

Ikhsanun Kamil Pratama © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates