Senin, 02 Agustus 2010

Al-Quran kitab ulama?? part 2

Oke, sekarang mengenai metode penafsiran. Perlu kita pahami bersama bahwa TAFSIR dan SAINS sama-sama bersifat relatif. Terutama, bila kita berbicara masalah metodologi, itu sangat relative. Pertanyaannya, siapakah yang membuat bermacam metode penafsiran?? Manusia. Apakah berarti hanya ada satu jenis metode penafsiran yang mutlak?? Tentu tidak. Dalam menafsirkan ayat Al-Quran, atau dalam proses pembuatan notes2 Medis saya, atau dalam pembuatan buku saya yang bertema Medical Islam, saya mengembangkan metode penafsiran saya pribadi, yaitu metode sinapsis. Karena saya sangat merasakan bahwa masing-masing ayat sangat berhubungan satu sama lain. Bayangkan, lebih dari 6000 ayat saling berhubungan. Sangat kompleks bukan?? Saya membayangkan kekompleksan itu bagaikan persyarafan kita yang ada di otak. Karena itulah saya menyebutnya metode sinapsis.

Metode penafsiran Al-Quran mulai dikenal setelah Rasulullah wafat. Saat itu, para sahabat saja sudah memiliki bermacam variasi penafsiran atas suatu ayat. Jika mereka tidak menemukan solusinya dalam penjelasan Rasulullah, maka mereka mencari maknanya lewat syair-syair dan karya sastra di zaman itu. Metode ini disebut Metode Ma’tsur.

Keunggulannya adalah penekanan pada bahasa sehingga cukup mengurangi subjektifitas. Namun, Quraish Shihab dalam ‘Membumikan Al-Quran’ berkata bahwa metode ini sangat sulit dilakukan pada zaman sekarang karena orang Arab sudah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa itu.

Ada lagi metode tafsir Tahlili yang menafsirkan Al-Quran sesuai dengan urutan yang ada di mushaf kita. Salah satu kelemahannya adalah karena terkadang penjelasan suatu ayat tidak selalu ada pada ayat selanjutnya, tapi ada pada ayat lain. Sehingga muncullah pendapat-pendapat yang parsial dan justru terkadang kontradiktif.

Ada lagi metode Maudhu’I, Ijmali, bil rayi, dan lain-lain. Sangat banyak, dan kesemuanya adalah ciptaan manusia yang bertujuan mempermudah penafsiran. Maka sungguh ironi menurut saya bila kita semua disibukkan dengan pertentangan metode ini. Buatan manusia pula. Maka sungguh aneh bilamana ada seseorang memutlakkan penafsiran dan memaksa yang lain untuk mengikuti metode yang relative itu.

Maka, saya secara pribadi menggunakan metode sinapses. Metode ini kira-kira memiliki beberapa prinsip

1. Sebisa mungkin lihat ‘hutan’ bukan ‘pohon’

QS Ali-Imron : 7

Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Ini sangat perlu, karena terkadang banyak ayat yang terkesan ‘kontra’. Namun sebetulnya sesuatu yang terkesan ‘kontra’ itu justru saling melengkapi. Sebagai contoh saya paparkan tentang hubungan pria wanita.

Pada surat An-Nuur ayat 30-31 disebutkan untuk ‘menahan pandangan dan menjaga kemaluan’ pada lawan sejenis dan jangan mendekati zina pada QS Al-Isra ayat 32 sehingga dapat diambil kesimpulan ‘melihat lawan jenis adalah zina’. Benarkah begitu??

Kesimpulan ini masih parsial menurut saya karena tanpa adanya ‘campurtangan’ dari ayat QS Al-Baqarah : 235

dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

Dan beberapa ayat lainnya seperti Al-Baqarah : 232, At-Taubah : 24, yang membuat saya mengambil kesimpulan bahwa melihat lawan jenis belum tentu zina. Ada ‘prasyarat’ agar ‘melihat lawan jenis itu zina’. Bahkan tetap ada zina saat telah menikah (An-Nisa : 24). Kontra bukan dengan kesimpulan ‘menghindari zina dengan menikah??’. Lebih lanjut baca notes: ANTARA ZINA DAN CINTA

2. Tabayyun (diskusi), kerja grup (An-Nahl : 125)

Karena hanya Allah yang tahu dan saking luasnya ilmu-Nya. Terutama saya tidak berminat mendalami bahasa Arab. Saya butuh kerjasama. Saya butuh tim. Tim saya selama ini adalah: penerjemah Al-Quran. Saya ‘memanfaatkan’ hasil karya penerjemah. Karena sekali lagi, ilmu Allah sangat luas (Luqman :27)

Atau bayangkan begini. Apakah seorang dokter ‘wajib’ untuk mengetahui gejala-gejala fisis pada stetoskop sebelum menggunakannya?? Tentu saja tidak wajib. Kita cenderung ‘menikmati’ hasil karya berupa stetoskop itu. Namun bila kita mengetahuinya, insya Allah itu lebih baik lagi.

3. Gunakan potensi otak

Potensi otak yang saya maksud tidak hanya IQ. Namun EQ, SQ, dan mungkin beberapa Q lainnya yang belum terumuskan. Intinya adalah kesadaran. Saya yakin sangat banyak sekali ayat yang memiliki inti ‘Al-Quran hanya bisa diambil hikmah dengan akal’. Sebutlah Ali Imron : 7, Ali Imron : 190-191

4. Membuka diri & berbesar diri terhadap koreksi

Akal kita terbatas. Kecerdasan kita ditentukan oleh seberapa banyak informasi yang masuk kepada kita. Sedangkan ilmu Allah sangat luas. Maka mungkin saja bila ada suatu pemahaman yang terkesan ‘kontra’ dengan kita namun itu adalah pembenaran. Maka, segala kemungkinan baiknya tidak ditolak mentah-mentah namun diterima untuk ditabayyunkan. (QS Al-Ashr)

5. Tidak tergesa-gesa

Seperti yang disebut pada part 1 bahwa Al-Quran adalah ajang berdialog dengan Allah, maka bacalah dan ambil kesimpulan dengan tidak tergesa-gesa. (Taahaa : 114. Al-Qiyaamaah : 16-19)

6. Menyimpulkan

Jangan takut untuk menyimpulkan!! Karena seperti yang saya katakan bahwa kecerdasan masing-masing orang berbeda. Asalkan kita mau membuka diri, bertabayyun, berbesar terhadap koreksi. (Al-Baqarah : 225. Al-Ahzab : 5)

7. Kuncinya : TULUS (QS Al-Waagi’ah : 77-79)

Sekali lagi, kunci pemahaman Al-Quran bukanlah bahasa. Namun ketulusan kita untuk mengambil kesimpulan.

8. Tidak ragu

Kenapa perlu ragu terhadap Al-Quran?? (Al-Baqarah : 2, Yunus : 37, Ibrahim : 52)

9. Utama : Al-Quran. Derivat : hadits

Saya jarang menggunakan hadits karena peran hadits pastilah sebagai DERIVASI Al-Quran. Terlebih, Al-Quran dijamin oleh Allah SWT keotentikannya 100%. Sedangkan tidak dengan hadits. Namun saya sama sekali tidak bermaksud mengingkari hadits.

Mari kita gunakan kembali Al-Quran sebagaimana mestinya.

Wallahu’alam bishshawwab

Mari kita lawan ‘Hari Pembakaran Al-Quran Internasional’ dengan menggunakan Al-Quran sesuai fungsinya

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ikhsanun Kamil Pratama © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates