Selasa, 12 April 2011

Menjemputmu Dengan Takut dan Harap

Bismillah

Assalamu’alaikum wr wb.

Wahai calon istriku, entah mengapa aku berubah menjadi melankolis. Kuingin engkau tahu bahwa sejuta daya ledak motivasi mengalir dalam darahku untuk menjemputmu. Sejuta buai cinta mengalir dalam syarafku. Sejuta cita dan asa untuk datang ke depanmu. Sejuta, ah sudahlah, memang aku tak pandai beretorika.

Namun, sejuta tak lagi menjadi sejuta. Cita pun bernoda lara. Gembira terkosongi sebagian hampa. Karena satu rasa dalam dada, yaitu takut.

Ah, tolong jangan memalingkan muka terlebih dahulu. Dengarkanlah dulu diriku, simaklah surat ini meski pilu mewarnai hati. Satu harapku :bacalah ini sampai akhir. Bukankah, takut merupakan hal yang manusiawi?

Kuakui, sejuta motivasiku untuk menjemputmu tak beriring dengan pikir jernih. Aku cukup tertampar dengan cerita Baginda Rasulullah SAW. Engkau pernah mendengar nama Hafsah? Ya, beliau adalah salah satu istri Rasul dulu, sekaligus anak dari Umar bin Khattab, sahabat dekat Rasul. Dari sekian jumlah istri Rasul, Hafsah adalah satu-satunya istri Rasul yang pernah diceraikan karena terjadi sedikit kesalahpahaman dengan Mariyah al-Qibthiyah, salah satu istri Rasul. Bila engkau berada di posisi Hafsah, bagaimana perasaanmu diceraikan suamimu?

Memang, meskipun pada akhirnya Hafsah dirujuk kembali, namun perceraian terjadi di rumah tangga Rasulullah. Ah, siapalah aku? Tiada banding diriku dengan Rasulullah. Kemungkinan cerai pun akan jauh lebih besar. Ini adalah problema yang perlu kita hindari bersama. Bukan hanya sekedar ‘engkau jodohku, milikku selamanya, dan kita kan mengabadi’. Ini adalah perjuangan yang harus kita jalani bersama. Inilah ketakutan pertamaku.

Hei, apa engkau tahu? Otak pria sangat tajam dalam masalah visuospasial. Tubuh wanita merupakan makanan yang nikmat bagi mata pria, mataku. Mungkin engkau bertanya-tanya tentang hal ini, bahwa perihal seks pun menjadi halal.

Ah tolong maafkan aku. Aku cukup terhentak dengan berita-berita koran dan infotainment. Banyak sekali berita tentang kawin kontrak. Banyak sekali para tokoh layar kaca yang berucap ‘kalo mo ‘gigituan’ kan halal, wong udah nikah’ begitu entengnya. Engkau menangkap ketakutan keduaku?

‘Zina dalam pernikahan’. Ya, zina bertopeng nikah. Mungkin term inilah yang paling cocok menggambarkan hal ini. Bahkan, bukankah dalam Al-Quran pun memberikan himbauan untuk tidak melakukan ini, bukan? Lantas, siapa diriku? Aku hanyalah seorang pria. Sungguh, ketakutan yang amat sangat bagiku bila kelak memandangmu hanya ‘seonggok tubuh’ saja. Tak memandang dirimu secara keseluruhan. Hanya mencintai tubuhmu, bukan dirimu. Meskipun hanya sesaat. Sungguh, aku takut.

Hei, aku pun tertegun dengan sebuah cerita. Ini pun berkisah tentang sang manusia agung, Rasulullah. Betapa dia memiliki sifat entrepreneurship yang luar biasa dahsyat, kekayaannya sebetulnya sangat melimpah ruah. Namun, kekayaannya itu ia tutupi oleh baju kesederhanaan. Kekayaannya pun berdifusi, senantiasa mengalir kepada sekitarnya yang membutuhkan.

Ah, lihatlah diriku. Yang telah berumur kepala dua tetap belum mandiri. Yang baru saja menyadari pentingnya entrepreneurship. Saat ini aku hanyalah sosok yang sok kaya, namun sebetulnya miskin. Sungguh bagaikan sisi uang logam aku dengan Rasul. Kalaulah Rasul menutupi kekayaan dengan kesederhanaan, sehelai baju terindah sepanjang masa. Maka, aku menutupi kemiskinanku dengan selendang kesombongan, selendang kekayaan. Parahnya, selendang ini pun bukanlah hasil tetes keringatku, namun orangtuaku.

Dan hal yang menjadi tantangan utama adalah saat aku berusaha untuk mengikuti apa yang diperbuat oleh sang suri tauladan kita, Rasulullah, dengan istri tercintanya, Khadijah. Engkau boleh tidak setuju, namun menurutku, kisah cinta mereka merupakan kisah teromantis sepanjang masa. Bagaimana tidak, bahkan cinta mereka pun mampu kita rasakan sampai sekarang.

Apa buktinya? Tidak perlu jauh-jauh, apa yang kita rasakan tiap hari, apa yang selalu kita syukuri, itu adalah buah dari bibit cinta mereka. Itu adalah Islam. Islam yang selalu kita nikmati sampai detik ini, ternyata terlahir dari kamar sepasang kekasih.

Bayangkanlah, apa kiranya yang terjadi pada saat itu, saat dimana Rasulullah mendapatkan wahyu pertamanya, kemudian tiada Khadijah di sampingnya? Mungkin, Islam takkan tersebarkan seperti ini. Mengingat, kondisi Rasul saat penerimaan wahyu pertamanya pun betul-betul mengguncang kondisi mentalnya. Karena ada sosok istri tercinta yang senantiasa mengirimkan cinta tulus padanyalah, Rasul mampu bangkit dari kondisi yang mengguncangkan jiwa ini, saking besarnya amanah baru yang ditanggungnya. Tak semudah pengakuan orang-orang sekarang bahwa dirinya adalah nabi.

Lihatlah kejadian ini. Ternyata, cinta sang teladan kita pun bukan hanya ‘cinta aku kamu’. Bukanlah cinta yang hanya menonjolkan diriku dan dirimu, dan meniadakan makhluk lain, yang menjadikan dunia hanya milik berdua. Namun lihatlah, bahwa cintanya merupakan sebuah cinta yang rahmatan lil ‘aalaamiin, cinta yang cintanya menyebar ke seantero jagat raya.

Engkau boleh tak setuju, namun jujur, perihal inilah yang perlu kurenungkan. Bahwa, apa yang akan kita tempuh bukan semudah air yang mengalir dari hulu ke hilir. Dan kesimpulan yang mengguncang hatiku adalah bahwa seseorang tak pantas disebut kekasih apabila tidak mendekatkan diri kita sendiri kepada Allah. Ketakutan pun menjelmaku, bahwa aku belum tentu layak disebut kekasih. Namun, aku takkan berpangku tangan saja. Aku pun kan senantiasa menjelma menjadi seorang kekasih. Meskipun bagiku, cinta itu sendiri tak terjamah definisi.

Nah, siapkah engkau menjadi seorang kekasih? Karena aku pun akan senantiasa menjemputmu dengan takut dan harapku

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ikhsanun Kamil Pratama © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates