Jumat, 26 Oktober 2012

Nafkah yang terlupakan...

1 komentar
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tugas utama seorang suami adalah mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya, sehingga menjadi sebuah ketakutan tersendiri bagi mereka-mereka yang belum menikah untuk menikah. Takut bagaimana kelak menghidupi anak istri, karena konon cinta tak bisa untuk dimakan. 

Begitu pun halnya dengan ia yang sudah menikah, masalah nafkah seringkali menjadi sumber pertengkaran banyak keluarga. Bahkan pada tahun 2010, 67.891 pasutri di Indonesia memilih untuk bercerai karena masalah ekonomi. Ternyata dan tentunya, masalah nafkah memang sangat penting dalam menjaga keharmonisa rumah tangga.

Namun, apakah keluarga yang memiliki penghasilan milyaran bisa dipastikan keluarganya harmonis? Ooh ternyata belum tentu...

Ada keluarga yang secara ekonomi pas-pasan namun bisa tetap menjaga keharmonisan keluarga, ada juga keluarga yang secara ekonomi berlimpah pun bisa menjaga keharmonisan keluarga. Loh, kok bisa?

Ternyata kuncinya ada pada satu jenis nafkah yang boleh jadi sering terlupa sama kita semua, nafkah cinta...

Betapa istri merasa menjadi 'janda' meski setiap hari diberi nafkah makan dan uang, namun jarang sekali tersentuh emosional, karena lebih sering kencan dengan pekerjaan...
Betapa anak merasa jadi 'yatim piatu' meski sedari kecil diberi makan, disekolahkan sampai perguruan tinggi, namun anak kesepian secara emosional karena keduanya terlampau sibuk untuk mencari materi...

Gawat bila pasangan kita hanya merasakan kita sebagai sosok ATM yang hanya memberi uang namun tak merasakan sosok kita sebagai seorang sahabat, seorang partner hidup, seorang kekasih, seorang pelindung, dari diri kita sendiri. Yang paling gawat apabila sosok-sosok tersebut ia rasakan dari orang lain, apa yang akan terjadi? 

Begitu juga bila anak kita tak melihat sosok pelindung, sosok teladan dalam diri kita. Sedang sosok pelindung justru didapatkan dari temannya? Waduh, pintu menuju pergaulan bebas pun mulai terbuka...

Tak salah memang bila kita fokus mencari nafkah, mencari penghidupan yang layak untuk keluarga kita. Namun, jangan lupakan nafkah cinta. Karena mengurus keluarga tak seperti mengurus hewan piaraan, cukup hanya dengan diberi makan dan dibesarkan saja. Istri dan anak-anak kita pun adalah manusia yang sangat butuh nafkah cinta dari kita...

Bila sudah lama tak berekspresi cinta pada pasanganmu dan anakmu, maka ekspresikanlah...

Bila masih meragu menikah karena masalah mapan, ketahuilah bahwa pondasi nikah berupa mapan sangat rapuh. Memang kita gak bisa makan cinta, namun apabila benar-benar cinta, tentunya kita takkan biarkan pasangan kita kelaparan...

Maka, mari berkaca dengan kondisi keluarga kita, sudahkah betul-betul membawa ketenangan dan kedamaian hati atau justru sebaliknya? Sudahkah kita betul-betul optimal memberi nafkah yang terlupakan itu?

Jumat, 12 Oktober 2012

Berbisnis dari Hati

0komentar
Betulkah tak ada ruang kemanusiaan sama sekali dalam berbisnis?

Hal yang begitu banyak terpikirkan dalam benak kebanyakan orang, termasuk saya beberapa tahun sebelumnya bahwa bisnis itu jahat, bisnis itu PASTI diperbudak sama uang, alias money-oriented selalu, bahkan saking jahatnya, saya pernah men-cap sangat rendah bahwa bisnis itu gak manusiawi, karena seolah semua buta oleh uang.

Hanya saja, betulkah yang namanya pelaku bisnis hanya kejar uang?

Perjalananku beberapa tahun terakhir ini membuka mata saya bahwa bisnis bisa jadi sumber kebaikan, bisa jadi sumber kejahatan, tergantung PELAKU BISNISnya. Bila si pebisnis ini hanya mengincar profit, boleh jadi bisnisnya bisa bawa kehancuran bagi sekelilingnya. Namun, bila sang pebisnis berbisnis untuk BERIBADAH bantu orang lain, insyaAllah hal ini membawa kebaikan yang luar biasa. Semua memang kembali pada NIAT.

Loh, berbisnis bantu orang lain memang seperti apa?

Untuk meminum air kelapa segar, tentu akan lebih mudah bila air kelapa sudah tersedia pada penjualnya, daripada kita harus manjat sendiri, petik sendiri, ambil sendiri, 'kupas' sendiri. Pedagang kelapa, disadari atau tidak, sebetulnya telah membantu kita dalam proses mempersiapkan air kelapa yang begitu menyegarkan untuk dihirup. Maka, sebagai bentuk apresiasi kita kepada pedagang kelapa tersebut, kita berikan upahnya...

Begitu pun sama halnya ketika kita membeli beras di supermarket, kita sangat terbantu oleh bermacam pihak, seperti petani, jasa angkutan, dan bermacam hal lainnya. Maka dalam hal itu, wajar bila kita memberi apresiasi berupa upah harga yang harus dibayar. Justru, betapa kurang ajarnya bila kita memiliki mental GRATISAN, seenak udel minta gratis namun sama sekali tanpa memikirkan jasa begitu banyak orang yang telah berjuang membantunya. BUANG mental gratisan pada tempatnya, hanya terima gratis jika penyedia barang/jasa dengan ikhlas betul2 mau digratiskan...

Maka, dalam pandangan saya, berbisnis itu sama saja dengan tebar manfaat. Bila begitu banyak mereka yang berjualan baso tikus + borax, tentunya bila kamu buka bisnis baso yang betul-betul sehat tanpa borax, baso tikus, dan bermacam zat berbahaya lainnya, itu saja sudah membantu banyak orang untuk mendapatkan baso yang sehat, kan?

Maka, apakah yang namanya bisnis PASTI money-oriented?

Ooh tidak selalu, itu semua tergantung kembali pada orangnya. Memang sih, ada pebisnis yang betul-betul mengincar profit semata. Jualan obat secara buta ke banyak pasien demi rumah, jualan susu formula ke banyak ibu2 menyusui demi mendapat mobil, 'memaksa' operasi caesar kepada ibu melahirkan yang sebetulnya tidak membutuhkan. Hal seperti ini sudah banyak yang melakukan. PASTIKAN yang melakukannya bukan kamu...

Justru, berbisnislah dengan hati. Berbisnis dengan niat untuk bantu orang lain. Entah kamu mau jadi makelar, atau apapun, pastikan selalu barang/jasa yang kamu jual membawa kebaikan bagi sekitar. Tentunya, me-marketing-kan barang/jasa tersebut berarti sama dengan me-marketing-kan kebaikan. Penulis buku yang me-marketing-kan bukunya, bila ia yakin bahwa bukunya banyak kebaikan di dalamnya, maka marketing-kan bukunya sendiri, agar kebaikan itu banyak meresap ke banyak orang. Seorang pedagang makanan, bila ia yakin bahwa makanannya begitu bergizi tinggi untuk menyehatkan banyak orang, maka JUAL kebaikan itu.

Bersiaplah jadi orang kaya, yang berbisnis dari hati. Serta bersiap untuk jadi orang yang berani kaya dan berani bertaqwa...
 

Ikhsanun Kamil Pratama © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates